Maimun, Maimunah… (Medan Itu Bukan Batak, Medan Itu Miniaturnya Indonesia)

Tak habis-habisnya aku memujamu, bangunan Melayu tua kebanggaan kota besar ketiga di Nusantara ini. Jika sekilas memandang dari luar mungkin orang tidak tertarik menapakkan kaki ke dalam, didukung halaman dan taman yang jauh terkesan dari perawatan. Tapi karena rasa penasaranku dengan salah satu saksi bisu bahwa Kota Medan ini adalah tanah kerajaan Melayu dulu maka aku merelakan waktuku bakal sia-sia memasuki bangunan yang hampir semua berlapiskan kuning emas ini. warna kemegahan suku Melayu.
Sungguh salah kaprah aku. Racikan desain interior perpaduan tradisi Islam dan kebudayaan Eropa membuat mulutku sering ternganga terkesima melihat karya luar biasa itu. Garis lengkung menawan di berbagai sisi bangunan begitu sempurna dihiasi bagian plafon, tiang dan dinding yang hampir tak secuilpun polos tanpa lukisan rumit yang kaya warna. Lampu gantung begitu temaram menciptakan suasana terasa eksotik. Subhana Allah!!
                                                            ***
            Ini kali ketiga dalam tiga hari ini juga aku menyambangi  Istana Maimun, salah satu icon kebangaan kota Medan. Tak bosan- bosannya diriku menghabiskan liburan semester hanya berkeliaran mengeksploitasi keanggunan Maimun. Sebenarnya kebanyakan nadi otakku termenung menerawang penuh gusar, sesekali memandangi lemari kaca antik dengan detail indah, warna kontras hitam emas itu. Terbersit dalam ingatanku ketika kali perdana masuk kuliah di salah satu kampus kedinasan di Ibukota Negara ini, saat dosen meminta kami memperkenalkan diri masing- masing.
“Fitria Kurniawati Asal Magelang” celutuk wanita berkacamata itu dengan medoknya.
“Shinta Agustin Asal Semarang”
“Ridwan Pajriansyah Jakarta”
“Gideon Halomoan Siagian, asal Medan” kali ini pria jangkung itu terasa kental dengan logat bataknya. Bapak itu hanya manggut- manggut tanpa memberikan komentar. Sedikit aku menaruh curiga dengan pria ini, “sepertinya aku belum pernah punya teman batak yang tinggal di Medan berbicara se-batak itu” protesku dalam hati. Begitulah satu demi satu mahasiswa yang hampir mewakili seluruh sudut negeri ini hingga giliranku semakin dekat. Ternyata banyak orang Medan juga di kelas ini, sekitar tujuh orang lah berikut aku.
“Desmita Andriani Maimunah Asal Medan” ujarku sambil menebar senyum perkenalan. Kulirik Bapak itu mengernyitkan kedua alis tebalnya yang hampir menyatu. “Marga apa kau?” tukasnya yang membuat aku begitu kaget. “Aku Melayu Pak” jawabku walau sebenarnya sedikit kesal. Memangnya kalau orang Medan wajib suku Batak ya. Apa ini karena ulah keenam mahluk tadi yang mengaku orang Medan itu punya marga semua. Tapi aku mencoba tidak memusingkan persoalan itu, tidak enak juga langsung memulai perdebatan dengan dosen yang baru saja aku kenal.
Kejemuan itu semakin memuncak juga saat mulai mencari kontrakan karena sebelumnya masih menumpang di rumah keluarga.“Permisi buk, ada kamar kosong kah?” sapaku kepada Ibu yang sedang menggendong bayinya yang mungkin belum genap sebulan itu.
“iya dek, darimana kampungnya?”
“Medan buk”
“Orang Batak bukan, soalnya ini khusus Muslimah dek?”
“Eheeee, bukan buk.Aku melayu buk” ucapku dengan senyum agak terpaksa. Gerah aku dengan penggeneralisiran orang- orang akan Medan ini. Kalau bukan karena rumah kosan itu bagus, sudah kutinggalkan segera saking kesalnya. Apa karena aku tidak mengenakan jilbab ya. Ini bukan masalah SARA, tapi aku tidak nyaman saja langsung di-judge tentang orang Batak, bahkan pertanyaan ibu tadi yang sebenarnya aku jadi tidak enak sendiri menjawabnya. Kenapa mereka tidak bertanya seperti ini “Orang apa, agama apa?” itukan lebih baik dari pada menebak tapi jadi tidak enakan suasananya.
Hmmmm.. Tersadar lagi aku dari memori otakku yang sempat diputar ulang. Kali ini khayalanku terusik oleh sosok cleaning service yang tadi begitu sibuk menyapu sampah yang berserakan  juga memangkas rerumputan yang tumbuh kurang teratur. Sesekali juga terlihat dia membantu tamu memarkirkan kendaraan. Kini pemuda itu sibuk dengan sabar melayani pengunjung yang bertanya ini itu. “Kapan ya Bang Istana Maimun ini didirikan?” tanya wanita setengah baya itu dengan kaca mata gelap yang hampir menutupi setengah wajahya. Sepertinya dia juga datang bersama keluarganya. “Sekitar agustus tahun 1888 buk” jawab pemuda itu dengan senyum khasnya. “Siapa yang bangun bang?” celutuk gadis tinggi semampai yang mungkin putri ibu tadi. “Arsitek Belanda kak, ini perpaduan budaya Islam, melayu juga Eropa, jadi sangat unik” terang pemuda itu sudah setara pemandu wisata profesional saja. Begitulah keluarga itu menghujani dia pertanyaan mungkin setelah puas baru mereka bergegas memasuki isi dalam istana sambil mengabadikan momen indah berlatarkan Maimun.
Salut melihat pemuda itu. Sepertinya dia mempunyai tugas multifungsi di istana ini. Namun aku beralih ke akan hal yang baru saja aku lamunkan. Entah kenapa hatiku terenyuh saja. Maimun sebagai bukti Kota Medan itu tanah Melayu. Tapi kenapa aku di pulau Jawa sana seperti tidak dianggap saja, Si Batak lagi si Batak lagi. Berbuih juga bibir ini untuk menegaskan kalau aku bukan Batak. Aku bukan benci orang batak tapi karena aku memang bukan Batak dan Medan ini juga bukan tanah Batak. Bahkan tidak sulit juga menemukan orang Jawa, Tionghoa, Minangkabau, Nias, Aceh dan India yang bertebaran di penjuru kota ini.
Teringat lagi piranti otakku dengan Gideon, saking semangatnya punya teman sekampung di Jakarta ini, aku langsung temui dia sehabis mata kuliah pengantar Akuntansi tadi. “Orang Medan kan, SMA mana kau kemarin?” sapaku sok akrab, namun tidak apa-apalah karena sedaerah. “Iya, SMA 2 Balige. Kau?” jawabnya tanpa muka berdosa.
“Balige?”
“Iya, balige.Kenapa?”
“Di Medan tinggal dimana” serangku lagi memastikan.
“Aku gak di Medan nya, Ya Di Balige, Laguboti-nya lah” ujarnya lagi semacam tak sadar dengan responku yang kaget.
“Kirain anak Medan beneran, hehehe. Aku ke kamar mandi dulu ya” ujaku dengan senyum terpaksa.Walau sebenarnya juga aku tak ingin ke kamar mandi, tapi aku tiba- tiba malas saja. Jelas- jelas dia sekolah dan besar di Balige, mengaku anak Medan, kapan tuh terkenal Balige kalau anak daeranhya sendiri tdak memperkenalkannya. Aku jadi gusar sendiri. Aku juga sudah menanyai kelima orang yang mengaku dari Medan tadi dan hanya dua dari mereka yang benaran orang yang berumah dan sekolah di Medan. Satunya lagi Pangkalan Brandan,jelas- jelas itu sudah ada di daerah Langkat. Dua lagi berasal dari Siantar dan Sidempuan. Dari hasil analisisku sih, mereka itu bukannya karena malu mengaku dari daerah di Sumatera Utara tapi menghindari mulut berbuih menjelaskan dimana itu Balige, Brandan atau daerah lainya. Kalau sebut Medan saja sudah semua orang tahu lah. Tapi mereka- mereka inilah yang mendukung orang- orang yang tidak begitu kenal Medan semakin menyamaratakan bahwa Medan itu isinya orang Batak semua.
                                                                                    ***
Tanah Melayu. Tinggal bangunan tua ini menjadi saksi kemahsyuranmu bahwa kerajaan Melayu pernah Berjaya di kota ini. Walau sekarang aku tidak tau dimana kejayaan itu berada, mungkin di pinggiran kota Medan itu meringkuk tersembunyi. “Kenapa dari tadi kau merenung aja dek kutengok?” sesosok suara bariton yang menggangu lamunanku lagi. Aku melirik arah suara berat itu.Pemuda yang sedari tadi kuperhatikan sibuk itu ternyata.  “Engg.. Tak pa pa bang. Kagum aja aku sama Istana Maimun ini” ujarku masih dengan raut muka yang kosong. “Tapi kok sedih mukamu kutengok, tapi kagum?” Tanya pemuda itu lagi mulai kepo. Cukup piawai juga dia menerjemakan ekspresi wajahku yang tak cerah. “Cuma sedih aja Medan ini kok lebih sering diidentikkan sama Batak ya bang, apalagi kalo awak lagi di Jakarta sana, padahal bangunan ini udah cukup membuktikan” keluhku menumpahkan kegundahanku sedari tadi. Sejenak abang itu terdiam dan mengernyitkan kedua alis tipisnya. “ Iya sih dek, tak bisa disangkal itu. Apalagi di buku IPS waktu SD dulu suku di Sumatera Utara itu suku Batak nya ditarok sama rumah adat batak, walau ada Melayu, Nias, Tionghoa.Tapi kek manalah biar mudah” jawab abang itu begitu sederhana tapi sangat masuk di akal juga. “Tapi kan Medan ini tanah melayunya dulu” tegasku. “Iya, tapi sekarang Medan ini udah tanah kita semua, tanpa kenal suku dan agama bersama- sama membangun kota multietnis ini…”
“Tapi bang…”
“Abang marga Lubis dek, orang batak yang mengabdi merawat Istana Maimun ini, yang kau bilang punya orang Melayu ini”
Terdiam aku mendengar ucapan abang itu. Seolah tamparan keras buatku, dia orang batak tapi peduli dengan bangunan kebanggaan orang Melayu di kota ini. Melihat ke diriku sendiri, apa yang udah aku lakukan untuk bangunan tua yang sedikit mulai tak terawat ini. Tak bisa kusangkal lagi memang benar kota Medan ini milik semua orang yang tinggal di sini tanpa melihat asal- usul nya, begitu juga Maimun, milik orang Medan, bukan Melayu saja. Sedikit menahan rasa malu, akupun pergi meninggalkan Maimun.


Komentar

  1. Wew..... nice story.. always.....

    sukses terus, sepertinya tulisan ini hrs di lebih di publish lagi....

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Daftar Nama Bayi dari Bahasa Batak Tapi Tetep Modern dan Unyu. :)

Medan Undercover, Mengungkap Fakta Unik Sang Ibu Kota Sumatera Utara..

Aku Kristen, bukan Non Muslim..