Love Square
Argghhh!!!
Teriak kecilku dengan durjananya menekan perpaduan control A + del keypad laptopku Begitu beringas. Tidak pernah aku seburuk ini, begitu buntunya relung imajinasiku melahirkan janin kisah baru menyempurnaan sekuel cerita sebelumnya. Biasanya seminggu sebelum deadline menuntut sekelumit ide baruku, karyaku sudah nyaris siappublish dengan sedikit editan pemanis saja.
Saat ini tulisanku memang sedang jaya- jayanya merajai majalah Simponi, mediadwi mingguan, kiblat majalah remaja tersohor di kota ini. “Love Square” , cerita bersambung layaknya menu wajib yang paling dinanti pecinta majalah ini, produk yang hampir gagal setelah sebelumnya telah ditolak beberapa media. Aku pastikan ini kesalahan terbesar mereka menyia-nyiakan topik yang selalu ditungg, kejutan apa yang akan dihidangkan di setiap episodenya. Parahnya lagi, Andrea, penghuni kamar sebelah memamfaatkan momen ini dengan keisengannya menciptakan akun twitternya Love Square.Jejaring sosial itupun ramai dihujani celoteh penikmat Love Square, cerita yang terlahir dari polemikcinta segi empat, empat bersahabat itu. Andrea rajin menculik quote atau statementpuitis dari tiap episode Love Square, menyihirnyanya menjadi ocehan yang hampir selalu ratusan kali diretweet penikmat jejaring sosial itu. “Kenapa aku selalu baik kepadanya walau dia tak pernah menghargai?Karena aku tak mau dia yang menentukan bagaiman aku bertindak kepadanya” salah satu twit yang dikutip Andrea saat Nala tak berhenti menebar kebaikan walau Novita menghina kekampungan dia. Begitulah tiap hari follower Love Square semakin menjamur, kadang Andrea kewalahan membalas celoteh mereka.
Sebenarnya bukan piranti otakku terlalu miskin ide menyambung nafas cerita itu. Akar masalah kebuntuan ini berbuah dari kelantangan tangan jahil Andrea membeberkan sedikit kejutan yang akan kusuguhkan di episodeLove Square ketiga belas ini. Kicauan di akun berfollower hampir mencapai seribuan itu secepat kijang menyebar didukung oleh jasa retweet bagai virus maut bagi pecinta Love Square. “RIP Nala, We’ll miss you, L” kicauan durjana itu bagai petir sekaligus boomerang bagiku.
Perlu kutekankan sejujurnya Nala bukanlah siapa- siapa dalam kisah itu, bukan pelaku utama atau salah satu dari keempat sahabat itu.Dulu imajinasi jahilku lagi iseng memunculkan sosok Nala di edisi kesembilan.Terlahir sebagai pemuda desa yang menjelma di sekolah ke empat sahabat itu.Dengan keluguan dan ringan tangannya meniti hari hari dia bermetamofosa menjadi pria luar biasa.Aku tak segan- segan menyihir Nala menjadi pahlawan penengah saat Love Square diambang kerapuhan. Bahkan Nala yang memapah hingga menggendong tubuh lemah Calista saat terkapar ketika acaracampingkelas dua minggu lalu. Sudah, begitu saja.Tak ada juga sosok spesial dari pemuda kampung itu.Aku sengaja membunuh dia agar Vawel, Dava, Calista dan Maris muncul menjadi karakter yang lebih kuat.Tidak tahu juga kenapa Nala yang dulu aku sendiri mengemasnya menjadi bumbu pemanis kisah Love Square seketika ingin melenyapkannya.Tak pantas saja dia itu bagiku, toh dengan kematian Nala tidak berpengaruh secara material bagi kisah keempat sahabat itu.Peran dia tidak lebih dari sekedar cameo.
“Aku tidak mau Nala meninggal!!!”
“Hei Hazel, Pembunuhhhhh!!!! Kembalikan Nala!!”
“Kematian Nala berarti kematian Love Square”
“Kami sekelas tidak mau berlangganan Simponi lagi jika Nala meninggal”
Jlebb.. “Mati dah gue” kutukku dalam hati membaca ancaman twit yang tak habis- habisnya itu. Seketika saja bara amarahku mengarah ke Andrea. Kusambar laptop miniku seraya memutar haluan ke kamar Andrea yang hanya terpisahkan sekat beton di sebelah sana.
“Baca!!”perintahku ketus.
“Ada apa Zel” Tanya Andrea seolah tanpa muka bersalah merapikan sedikit tatanan rambut indahnya.
“Baca!!” tegasku lagi.
Lama andrea terdiam terpaku menatap bilahan komentar yang seolah mau menyayat menyeruak dari layar mini itu. “Aaaaa..aaku tidak bermaksud seperti ini loh Zel, lagian kamu kan yang bilang Nala bukan siapa- siapa dan biar ceritanya gak kemana- mana gitu” tukas Andrea semacam membela diri. “Ow, bagus ya! Hebat.., sekarang kamu malah menyalahkan aku.Semuai ini tidak akan terjadi kalau tangan jahilmu itu tidak menggemborkan kematian Nala” geramku kesal.
“Tapi Zel”
“Sudahlah” potongku sambil merebut laptop itu kembali dari tanpa memberikan space buat Andrea membela diri lagi. Braakkk!!.Bantingan pintu buah kekecewanku.
Aku menjatuhkan tubuh lelahku ke kasur empuk tempat kumerajut mimpi tiap gelap kembali menyelimuti malam. Mencoba memandang langit- langit kamarku seakan menyibak apa ada celah cerita teronggok disana. Membayangkan muka Andrea yang menjengkelkan lalu segera ku tepis, membuangnya jauh.“Huh, biarin aja Nala mati, cerita juga ceritaku.Kok jadi mereka yang ngatur sih?” egoku mencoba mengumpulkan tekad.Kumemulai mengutak-atik tuts laptopku mencoba merangkai buliran kata menyatu padu membentuk kisah.Dengan beringasnya aku menskenariokan kematian Nala. Kali ini aku sengaja mengutuk dia menjadi pahlawan untuk yang terakhir kalinya menolong Love Square ketika terjebak di lift mall di kota ini. Satu- persatu mereka menaiki tubuh gagah Nala mencoba menggapai menyusup ruang kecil di atas lift. Begitu naas, saat Nala tertinggal sendiri di bawah tak mampu diraih tangan Vawel, runtuh bersama lift dan hangus terbakar.
“Dramatis sekali” pujaku bertepuk tangan kecil seolah puas bercampur bangga dengan kisah tragis yang baru saja kuracik tanpa rasa berdosa.Nala memang sudah sepantasnya mati atau paling tidak dia harus menyingkir dari dunia Love Square.Nala membuat cerita tidak fokus, terlalu ikut campur mengurusi polemik hati yang lagi memanas di tubuh Love Square. Karena ulah Nala juga lah pria semacho Vawel yang suka dengan feminimnyaCalista, yang ternyata Calista tertambat hatinya dengan Dava dan Ironisnya Dava sudah jatuh hati dengan Maris, Si tomboy yang menaruh hati kepada Vawel, semua berakhir dengan anti klimaks. Bagai penasehat cinta, Nala menjadi dalang yang mempertemukan keempat sahabat itu berbicara dari hati ke hati.Dengan embel- embel persahabatan diatas segalanya, seakan bunga cinta yang mulai mekar itu layu kembali.“Dasar pengacau!” umpatku dalam hati. Dengan kematian Nala, aku akan menyalakan api cinta yang dulu sempat tersulut di hati mereka.
***
Alunan lagu Rindu-nya Agnez Monica nada syahdu yang berdengung dari arah ponselku sekejap mengusik keasikanku.“Pasti mau nagih cerita” tebakku saat melirik nomer yang terpampang di layar ponselku.“Sabar ya Mbak Chika yang cantik, sebelum jam 12 malam ini episode ke 13 sudah ada di emailnya Mbak” celotehku tanpa memberi kesempatan dia menyapa.“Mbak tidak akan menerima jika ceritamu berujung dengan kematian Nala” papar Mbak Chika, redaksi yang biasa menangani item sastra majalah tenar itu.
“Tapi Mbak”
“Ini masalah rating Simponi Hazel, ratusan pelanggan sudah menghubungi kami. Please, buang egomu dan kami tidak akan membiarkan Love Square menjadi racun bagi majalah ini” tegas Mbak Chika bersamaan dengan putusnya pembicaraan di ujung telepon sana. Masih sempat tubuhku statis, ternganga untuk beberapa detik.
Kurebahkan lagi tubuh lunglai itu. Beberapa kali mengubah posisi berbaringku dan Arggghhh… Aku cakar sprei biru pembalut kasur kusutku , meluapkan amarahku yang memuncak diubun-ubun. Seakan terpasung aku.Siapa mereka mampu membatasi daya khayalku, menggali jurang pematah alur ceritaku.Aku bisa saja menggubah kisah itu, membiarkan Nala sialan itu bebas hidup gentayangan dalam dunia Love Square.“Ya Tuhan, mereka telah menyihirku jadi robot penghasil cerita apa saja yang mereka mau” sadarku penuh gusar.Bisa saja kedepannya mereka memperbudak aku jadi Mak Comblang menyatukan Nala denga Calista atau Maris.Mungkin juga mengancamku lagi untuk melululantahkan persahabatan Love Square dengan ulah Nala.Ini tidak adil bagiku, tidak bisa dibiarkan.Aku tak mau merajutt cerita itu tanpa sentuhan hati, aku menulis dengan hati bukan dengan tatih. Jika aku berkeras dengan mauku, apa kisah Love Square akan berakhir? Pihak majalah terpaksa melenyapkan Love Square, menggantikan tahtanya dengan karya penulis lain yang pasti sudah banyak menduduki antrian. Simponi tentu lebih memilih ribuan pelanggannya dibanding aku si penulis amatir pemberontak asa mereka.Simponi tak mungkin mau tertancap panah cemohan pelanggan yang mengharamkan kematian Nala. Takut pembaca setianya berselingkuh dengan majalah remaja lain yang mencoba peruntungan di dunia media kota ini juga. “Tidak.Posisiku tidak bagus kali ini. Jika harus mempertahankan Love Square, aku harus rela mejadi budak mereka.Ini juga demi tambahan uang bulananku” lirihku mencoba mengalah.Serasa aku tidak punya pilihan lain saja.
Aku angkat tubuh lusuhku mendaratkannya di kursi kayu penuh coretan tak beraturan dari penghuni pendahulu kamar ini.Aku simpan cerita tragis itu dan memulai memahat kisahbaru.Kisah tanpa dinodai kematian Nala.Mencoba menerawang kosong, mencuri secarik kisah buat edisi minggu ini.Terbayang dalam nadi pikirku, Nala tetap mendapat celaka tapi tidak sampai merengut nyawanya.
“tiba tiba saja sebuah jaguar mewah menghantam motor yang dikendalikan Nala. Bruukkk!! Suara hentakan laga kendaraan itu bersamaan dengan terlemparnya tubuh malang Nala terbentur trotoar jalan. Nala tak sadarkan diri dengan kucuran darah segar di dahinya. Berbaik hati yang menabrak Nala memboyongnya ke rumah sakit terdekat bersama Maris.Maris hanya sedikit dihadiai luka kecil, tidak separah Nala.Maris masih dengan air matanya yang tampak mengering, menggenggam erat tangan lemah Nala. “Maafin aku Nal, kamu koma karena aku. Tapi, emang aku buru-buru soalnya takut terlambat les pianonya” sesal Maris berharap hati kecil Nala…...”
Aku menghentikan ketikanku menggantung, seolah ada yang mengganjal. “tidak mungkin, pasti pembaca bakal kecewa juga. Sama aja kematian samar buat Nala, hidup setengah nyawa” sanggahku menolak cerita yang terlahir darih rahim otakku itu.Bergumul lagi aku dengan tiap lekuk khayalku, mencoba memutar balik skenario. “Oh ya, sebentar lagi kan Halloween Party” celutukku seakan menemukan sebongkah ide.
“Hai, pada ngapain?” sapaan hangat Nala membuyarkan arah pembicaraan keempat sahabat yang sudah semacam paket komplit kemanapun mereka pergi. Nala sudah hafal tongkrongannya Love Square di meja kantin pojok sana. Dengan sentilan mata nakal Vawel kepada Mbak Eka, meja oval merah tua itu bisa dibilang telah dibooking seumur hidup oleh mereka.“Bingung nih, sabtu depan mau ngapain” jawab Calista. “Wow, kebetulan sekali aku ada undangan Halloween Party kafe Om aku punya, pada mau gak?” promosi Nala dengan kedua alis matanya naik penuh semangat. “Asikkkk, mau mau..” koor keempat sahabat itu kompak.
“Aku mau jadi kuntilanak ah,.” bocor Maris.
“Jadi Vampir aja deh, keren” balas Vawel tak mau kalah.
“aku jadi… “
Lagi tarian lincah jemari tanganku terhenti seakan tertahan mau meloncat ke tuts mana lagi.“Oh Tuhan, cerita ini kok jadi datar banget ya, sangat membosankan” keluhku seolah menyerah. Rasanya apa saja ide cerita yang hinggap di bilik pikiranku setawar air tanpa garam.
Aku seolah kehilangan nyawa ceritaku.Tak mampu aku membangkitkannya, menggubahnya seperti alur yang sudah-sudah.Kematian Nala bagai nafas buatku meniti kisah itu seapik mungkin.Kalau hati sang penulis sudah menyatu dengan cerita itu, pantang sekali baginya menjilat ludah sendiri dengan menumbalkan kisah lain. Aku yakin sekalipun kisah itu terlahir tapi tidak akan sehebat kisah yang dibalut dengan hati. Begitu terpuruk aku, sungguh.Terkekang dengan batas jaring- jaring cerita yang membuatku sulit bergerak.Lagi, aku campakkan tubuh letihku ke kasur idamanku.
***
Tok tok tok..
Suara ketukan pintu itu memecah hening yang baru kucipta. “Siapa??” imbuhku masih bermalas- malasan dengan gulingku. “Aku Zel..” nada hati- hati terdengar di balik pintu kamarku yang kupastikan itu suara Andrea, Aku diam tidak menanggapinya, lagi beberapa waktu keheningan menguasai waktu kala itu. “Boleh aku masuk Zel?” pinta Andrea terdengar memelas.Enggan sebenarnya aku merelakan dia merajai kamarku, mendengar suaranya saja sudah gerah rasanya.Bisa kupastikan aku terbakar bersama dia di kamar kusut ini.Belum sempat mulutku memberi lampu hijau namun tubuh lancang Andrea sudah menerobos langsung menguasi kursi tempatku biasa meracik cerita atau sekedar menunaikan tumpukan tugas kuliah.
“Ngapain kamu masuk??”
“Aku, aku pengen tahu kelanjutan Love Square Zel, saran aku, jangan terpengaruh protes pembaca, tetap ikut kata hatimu aja” segelintir saran Andrea yang mencoba menjadi pahlawan gagal.Dia tidak tahu sekarang bukan hanya pecinta Love Square yang menjadi lawanku tetapi pihak majalah lebih frontal lagi menghalangi niatku menghabisi kisah hidup Nala.Sepertinya bilahan ancaman Mbak Chika perlu kubeberkan buat menyumpal mulut Andrea yang tidak mengerti betapa kacaunya aku.Aku jamin dia bakal tertampar dan semakin mengutuki kebodohannya.
“Kamu tau Ndre, Mbak Chika sudah nelponin aku dan tak akan terima karyaku jika Nala mati” terangku berapi-api.Aku lirik air muka Andrea berubah pucat disambar berita itu.Mulut kecilnya masih ternganga bersama matanya yang tegang memaksa mata sipit itu terbelalak.“Trus apa yang kamu lakukan, kamu mengubah jalan ceritanya?” ujar Andrea penuh penasaran.Sesekali dirinya menarik nafas menstabilkan rasa kaget yang menghinggapinya.“Aku bingung Ndre, Aku merasa jadi budak mereka saja jika mengikuti kemauannya.Aku ingin menulis dengan hati tanpa terkekang tapi aku juga ingin sekali karyaku dinikmati banyak orang” curahku tak kuasa menahan air mata.Tak mampu mengelak, kubangkit dari tidurku memeluk erat tubuh ramping Andrea bersama isak tangisku yang sesekali sesunggukan.Andrea mencoba menenangkan seraya menepuk halus punggungku yang terasa berat memikul beban ini.“Trus aku gimana Ndre..?” rengekku seolah putus asa.Serasa terjebak di jalan buntu yang tak ada jalan keluarnya.Hanya Andrea sahabat terdekatku tempat menumpahkan keluh kesahku saat ini.Sejujurnya hatiku masih menaruh amarah kepadanya tetapi buru-buru kutepis egoku karena aku sangat butuh Andrea.
“Kamu harus tetap menulis apa yang hatimu mau Zel” tukas Andrea sambil memegang erat kedua lenganku.“Maksud kamu..”tanyaku mulai curiga.“Ya jangan ikuti permintaan mereka” mendidih rasanya hati ini mendengarnya. “O, jadi maksud semua ini kamu ingin mengakhiri kisah Love Square dan membiarkan terbuang di gudang atau tong sampah gitu?” tegasku melepas dekapan Andrea, semakin berang aku melihat laku Andrea yang tak pantas disematkan gelar sahabat.
“Zel, dengerin dulu..”
“Keluar..” ujarku sambil membukakan mulut pintu
“Zel, beri aku..”
“Keluar…!!” hardikku makin garang. Andrea sedikit ciut melihat amarahku yang memuncak.Dia mengayunkan langkah gontai meninggalkan kamarku diikuti hempasan pintu yang sengaja kubanting keras.“Zel, zel, bukain pintunya” mohon Andrea masih keras kepala.“Zel, aku yakin kamu pasti mendengar suaraku sekarang. Ingat Zel, tak ada di dunia ini yang lebih merdeka dari seorang penulis. Apapun itu bisa kamu tumpahkan dalam tulisanmu. Bahkan kamu bisa jadi Tuhan dalam karyamu..Yaaa, kami pembaca tak lebih dari manusia yang banyak maunya.Banyak hal yang kita inginkan tapi tidak semua Tuhan kehendaki karena Dia lebih tau apa yang kita inginkan” tukas Andrea membuat hatiku sedikit bergetar, sekan tidak percaya dari mana dia mencuri kata bijak itu.“Begitu juga dengan kematian Nala, aku, pembaca atau pihak majalah tidak terima tapi kamu lah yang lebih tau apa yang terbaik buat Love Square. Saat ini juga kamu dengarin kata hatimu Zel, lakuin apa yang terbaik, toh kamu juga punya Tuhan kan, nah Dia pasti lakuin juga apa yang terbaik buat kamu dan tulisan kamu. Yang penting kamu sudah usaha, seperti kami yang berusaha menuntut kematian Nala, semua tergantung kepada mu, dan diatas semua itu tergantung kepada Tuhan.” Entah setan malaikat apa yang merasuki Andrea hingga terciprat kata serasa manis selagu merdu menelusuk hati.
Plaaakk…! Sekali mendayung dua pulau terlampaui. Selain Andrea telah mengembalikan nyawaku bertahan dengan tulisan hatiku, Andrea mengingatkan aku akan Sang Pencipta.Menyadari tiap balut doaku hanya terkemas dengan ribuan permintaan hatiku saja tanpa menanyakan apa yang Dia mau dalam hidupku. Bilahan kata yang menamparku dengan cukup sopan.
Pelan pelan aku lepas engsel pintu. Kurangkul Andrea kembali, kali ini lebih erat seakan tak mau lepas dari damai dekapannya. Andrea yang sempat kuvonis sebagai pecundang berputar 180 derajat menjadi pahlawan. “Terimakasih Ndre, Maafin aku. Ya, akulah Tuhan dalam karyaku, yang lebih tau yang terbaik buat Love Square” tegasku bulatkan tekad. “dan apapun yang kamu lakukan …..” sambung Andre. “toh ada Tuhan yang bakal lakuin yang terbaik buat kita” dilengkapi oleh aku dan Andrea kompak sambil tersenyum menang.
****
Love Square kini memang tidak menghiasi Simponi lagi. Tapi aku begitu bebas meracik dengan apik kisah itu. Dengan kematian Nala serasa semua berjalan nyaris tanpa kendala, bagai sungai yang tak ada habisnya ideku mengalir deras. Sesekali aku memamerkan perkembangan kisah mereka kepada Andrea dan kami menangis tertawa menikmati karya indah itu. Lagu “Rindu” artis multi talenta itu mengusik keasikanku dengan Andrea yang sedang menikmati Love Square. “Angkat tuh..” omel Andrea sambil merebut Laptop ku dan kini dia penguasa seutuhnya menikmati rentetan kisah itu. “Ya dengan siapa?” saat melirik nomor tak bernama itu. “Kami tertarik dengan cerita mu yang tergantung di Simponi, jika kamu mau mari kita lanjutkan dalam sebuah novel” tukas suara berat di ujung telepon yang mengaku dari penerbit terkenal. Bagai kejatuhan hujan emas aku mendengar kabar itu, aku peluk Andrea “ Ndre, Tuhan udah lakuin yang terbaik buat aku, kamu dan Love Square” seruku sambil memeluk bahagia tubuh Andrea dan masih dengan muka Andrea yang terlihat kebingungan.
Komentar
Posting Komentar